Tag Archives: Penginjilan di Indonesia

REFLEKSI PERJALANAN MISI ROBERT ALEXNDER JAFFRAY DI INDONESIA (Pdt. Maarjes Sasela)


“Orang ini luar biasa, harus ada orang yang menulis riwayatnya agar generasi berikutnya dapat mengenalnya dan mengingat jasa-jasanya sehingga menjadi dorongan bagi generasi penerusnya.” Ini adalah pernyataan yang diucapkan oleh Jason Stephen Lin murid Jaffray dan penulis buku Dr. R.A. Jaffray Pelayanan dan Karyannya. Pernyataan ini diucapkannya, ketika ia berkunjung ke kuburan Rev. R.A. Jaffray pada tahun 1947. Apa yang dimaksud oleh Jason ketika ia mengomentari sosok Jaffray sebagai orang hebat saat berkunjung di makamnya itu? Dari tulisannya dan tulisan yang ditulis oleh A.W. Tozer, saya temukan bahwa Jaffray merupakan sosok pribadi yang sangat luar biasa, karena beberapa hal berikut ini:

1. Dalam meresponi panggilan TUHAN

Robert Alexander Jaffray, lahir pada tanggal 16 Desember 1873 di Toronto ibu kota Kanada. Ayahnya bernama Robert Jaffray seorang pekerja yang ulet dan tidak kenal menyerah yang berasal dari Skotlandia. Darah Skotlandia yang mengalir di dalam tubuhnya, berasal dari keturunan pekerja keras dan ulet, sehingga meski harus menghadapi tantangan yang berat dalam membangun usahanya, ia tetap kuat berdiri, hingga menjadi pengusaha sukses di Kanada. Dari latar keluarga seperti ini membuat Jaffray secara sosioekonomi bukan biasa-biasa saja, ia berasal dari keluarga yang terbilang kaya dan terhormat. Ayahnya, Robert Jaffray adalah seorang  pengusaha sukses yang bergerak dibidang percetakan dan asuransi dan sampai meninggalnya, Robert Jaffray masih dipercayakan sebagai senator di Kanada. Artinya, keputusan untuk menyerahkan diri masuk di ladang misi bukan didorong oleh maksud untuk mencari popularitas atau materi, melainkan sebuah keputusan yang sadar dan tulus untuk mengabdi di ladang misi.  Jaffray sadar bahwa akibat dari keputusan ini, ia harus berhadapan dengan tantangan yang sangat berat. Beberapa tantangan yang ia hadapi antara lain:

Pertama, tantangan dari diri sendiri, sejak kecil Jaffray memiliki bobot badan yang besar dan ia mengidap penyakit kelainan jantung dan diabetes. Itu sebabnya, orang yang mengenal Jaffray sulit percaya bahwa ia bisa hidup dan melayani di medan pelayanan yang berat dan berisiko tinggi. Tetapi, TUHAN telah membuat Jaffray yang memiliki fisik tidak prima menjadi orang yang hebat dalam pelayanan di ladang yang sangat ekstrim.

Kedua, tantangan dari keluarga. Sebagai orang tua, Robert Jaffray sudah mempersiapkan anak-anaknya, khususnya Jaffray dan kakaknya William untuk melanjutkan usaha yang telah dirintis dengan susah payah, hingga berhasil. Namun, semua yang terjadi di luar dugaannya. Jaffray ternyata lebih memilih melayani sebagai misionaris di Tiongkok Selatan, dari pada melanjutkan bisnis yang telah dibangun oleh ayahnya. Keputusan ini, langsung menuai reaksi keras dari ayah dan kakaknya. Ayahnya sangat kecewa begitu juga dengan William saudara laki-lakinya. Robert Jaffray memutuskan untuk tidak memberi dukungan finansial kepada Jaffray jika ia tetap pergi ke Tiongkok Selatan. Akan tetapi, ancaman itu sama sekali tidak meredupkan keinginannya untuk menjadi misionaris di Tiongkok Selatan.

Ketiga, tantangan dari lingkungan pelayanan. Ketika terjadi perang  dunia Perancis menguasai Indo-Cina, orang-orang Perancis yang setia dan ingin menguasai Indo-Cina berusaha menjaga Indo-Cina seperti mereka menjaga negaranya sendiri. Akibatnya, para misionari diawasi secara ketat karena mereka dicurigai sebagai mata-mata Jerman. Pada tahun 1892 Rev. A.B.Simpson mengunjungi Tiongkok dan memimpin survey cepat tentang pekerjaan misi di negara itu. Ia mendapatkan bahwa propinsi Kwangsi, sebuah daerah yang terletak di Tiongkok Selatan yang luas serta padat penduduk, bukan saja belum mengenal Terang Injil, tetapi juga sangat menentang penyebaran agama Kristen. Dampaknya terhadap pelayanan misi, semua orang asing yang masuk ke wilayah ini dicurigai. Tentu dalam kesempatan yang sangat terbatas ini, kita tidak dapat menguraikan satu persatu tantangan yang dihadapi oleh para misionaris dan masih banyak tantangan lainnya yang sangat berat yang akan dihadapi oleh para utusan Injil ini. Namun, mereka tidak pernah gentar terhadap tantangan itu. Ketika, Jaffray datang ke Indonesia, ia juga harus berhadapan dengan tantangan yang sangat berat, khususnya dari penjajah Jepang  yang menguasai Indonesia pada waktu itu. Jaffray mengakhiri hidupnya di kamp intermiran Jepang pengungsian pada tanggal 29 Juli 1945.

2. Dalam hal keunggulan spiritualitas

Jangan ditanya soal spiritualitas Jaffray, karena ia telah terbiasa membangun hubungan yang sangat kuat dan intim dengan TUHAN sejak berusia muda. Pada usia enam belas tahun, Jaffray menyerahkan hidup sepenuhnya kepada TUHAN. Panggilan yang terpatri di dalam hatinya itu semakin jelas ketika ia menyerahkan diri untuk melayani TUHAN dan bersedia dibentuk di sekolah pelatihan misionaris yang didirikan oleh Rev. Albert Benyamin Simpson di New York. Sejak masa pembentukan di Sekolah Alkitab yang didirikan oleh Rev. Benyamin Simpson, Jaffray sudah terbiasa dengan disiplin rohani yang ketat. Dalam sejarah perjalanan misi Rev. Alexander Jaffray, ia tidak akan pernah bertindak mengeksekusi misi jika ia belum mendapat “konfirmasi” dari TUHAN yang meyakinkan dirinya untuk melaksanakan misi tersebut. Rev. Alexander Jaffray memiliki kecenderungan kuat untuk selalu bertindak atas keyakinan bahwa TUHAN, menginjinkan rencana misi itu dijalankan. Lin menulis, “Mereka semua mengakui betapa saleh hidupnya dan betapa ia mendalami kehendak TUHAN lebih daripada orang yang lain. jika pada saat awal bekerja masih belum tampak apa-apa, sesudah selesai bekerja, hasil yang menggembirakan pun dapat dilihat. Tidak mengherankan jika setiap orang yang mengenalnya akan merasa kagum karena ia memiliki minyak hikmat di atas kepalanya dan cinta kasih yang murni dalam hatinya sehingga ia mendapatkan kemengan dan kemuliaan yang tidak terhingga.” Seorang Sahabat di pengasingan Jepang yang menjadi akhir dari perjuangan misi Jaffray yang bernama Rev. F.R. Whetzel yang berasal dari utusan Injil Batjan Immanuel Mission. Whetzel adalah orang terakhir yang mendapat kesempatan untuk bercakap dengan Jaffray sebelum pada malam hari 29 Juli 1945, Jaffray menghembuskan nafas yang terakhir. Whetzel menulis, “Salah satu berkat yang besar dalam hidup saya adalah bahwa saya mendapat hak istimewa untuk ditawan bersama-sama dengan Dr. R.A. Jaffray di pulau Sulawesi. Saya mengasihi dia sebagai seorang besar dengan karunia penglihatan dan iman.” Inilah bukti keunggulan spiritualitas Jaffray.

3. Dalam menjalankan tugas kepemimpinan

Dalam hal kepemimpinan, Jaffray memiliki kemampuan yang mumpuni. Beberapa tugas penting yang ia emban semuanya dapat dilakukan dengan baik. sebagai seorang pemimpin yang yakin akan panggilannya, Jaffray tidak pernah ragu untuk melakukan sesuatu yang dapat memperluas layanan misi. Sebagai seorang pemimpin yang bersandar total pada kasih karunia Allah, Jaffray tidak pernah ragu dengan kondisi fisiknya yang lemah atau dengan kesulitan dana serta beratnya ladang misi yang dihadapi. Baginya kedaulatan Allah tidak dapat dibatasi oleh situasi dan kondisi yang paling berat dan paling ekstrim sekalipun. Salah satu contoh adalah pada waktu Jaffray mendirikan The Chinese Foreign Missionary Union (CFMU). Dalam lembaga inilah para misionaris muda dibentuk dan menjadi pembawa Obor Injil yang berdiri di garis depan pelayanan peabaran Injil. Dari badan misi ini berdirilah gereja-gereja yang kita kenal saat ini yaitu GPMII, Gepekris, dan GKAA yang tersebar dari Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Pulau Jawa, Pulau Bangka, sampai Belitung. Lin menulis, “Dr. Jaffray bukan saja dikenal sebagai seorang misionaris atau akademisi, melainkan juga seorang pemimpin yang hebat. Kepemimpinan beliau sangat menonjol, dan semua itu ditopang oleh karakter, kompetensi, dan kesediaannya untuk berkorban.”

4. Dalam menangkap, merumuskan dan mengeksekusi visi.

Kemampuan kepemimpinan seorang pemimpin bukan semata-mata terletak pada kemampuan retorikanya, melainkan bagaimana ia dapat mewujudkan visi menjadi kenyataan. Jika saat ini, ada gereja GPMII, Gepekris, GKAA, dan tentunya Gereja Kemah Injil Indonesia yang sudah memiliki sekitar 3000 jemaat, ini bukan terjadi dengan sendirinya, ada sebuah visi yang diyakini diberikan TUHAN untuk dilakukan oleh seorang Jaffray. Lin menulis, “Karena Rev. R.A. Jaffray memiliki hubungan yang erat dengan TUHAN, ia selalu mendapatkan inspirasi dan pandangan yang luar biasa. Bahkan, sebelum berangkat ke Hindia Belanda di Asia Tenggara, ia sudah mendapatkan sebuah visi baru.” Adrianus Harjanto, Ketua Umum MPH GKKA Indonesia berkomentar dipengantar buku yang ditulis oleh Stephen Lin dengan sangat indah menulis, “Visi yang mengglobal dan sentuhan hati beliau yang mendalam telah menggoreskan sebuah karya besar dalam bidang kepemimpinan.”

Penutup

Kini delapan puluh sembilan tahun sudah dilewati oleh Gereja yang merasakan langsung sentuhan pelayanan Jaffray, sebuah karya yang tidak akan pernah sirna dari bumi Pertiwi ini. Gereja Kemah Injil Indonesia, mungkin tidak pernah dibicarakan atau disebutkan dalam forum-forum besar di negeri ini, tetapi Gereja Kemah Injil Indonesia telah ikut mensukseskan program pemerintah untuk mencerdaskan bangsa. Dari pelayanan Jeffray saat ini banyak lahir para pemimpin baik di lingkungan gerejawi, pendidikan teologi dan pendidikan umum, perusahaan swasta, dan pemerintahan. Semua tidak lepas dari jasa pelayanan Rev. Alexander Jaffray.

Jaffray telah tiada, namun sejarah gereja akan mencatat namanya dan akan selalu diingat dari generasi ke generasi bahwa ada seorang yang rela meninggalkan kenyamanan hidup dan memberi diri melayani di daerah yang penuh dengan tantangan. Dari karya pelayanannya itu telah melahirkan pemimpin yang ikut berpartisipasi dalam pembangun bangsa tercinta ini. Kiranya, semangatmu, keberanianmu, terwariskan pada generasi ini dan akan datang. Selamat Ulang Tahun Gereja Kemah Injil Indonesia yang ke-89.